Candi Borobudur dan tradisi unik waisak

Candi Borobudur dan tradisi unik waisak
10 Mei 2017 16:53 WIB

Esok merupakan hari libur yang juga bertepatan dengan Hari Raya Waisak. Hari raya Waisak atau Waisaka merupakan hari suci agama Buddha. Dirayakan dalam bulan Mei pada waktu terang bulan (purnama sidhi) untuk memperingati Trisuci Waisak dengan berbagai upacara dan tradisi yang ada.

Seperti Candi Borobudur di Magelang, salah satu tempat ibadah umat Budha yang memiliki beragam tradisi saat merayakan Hari Raya Waisak. lalu seperti apa keunikan tersebut? berikut ulasannya.

Jubah/Civara memenuhi Umbul Jumprit

Candi Borobudur dan tradisi unik waisak

Saat perayaan Waisak para Biksu akan menuju sumber air suci di Umbul Jumprit di kecamatan Ngadirejo  kabupaten Temanggung. Air merupakan elemen penting dalam perayaan Waisak, air suci dari sumber pegunungan yang asri di daerah ketinggian yang berhawa dingin ini menjadi simbol akan kesucian diri dan ketenangan batin. Air suci tersebut kemudian dibawa dengan ribuan botol dan dibagikan kepada umat Budha di altar candi Borobudur.

Naga di pusat kota Magelang

Dalam rangkaian perayaan Waisak, keberadaan Klentheng Liong Hok Bio yang terletak di sebelah selatan alun-alun kota Magelang merupakan bangunan bersejarah yang digunakan untuk mengawali prosesi Pindapata. Pada masa peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825 – 1830, terjadi banyak kekacauan dan kejahatan yang meresahkan rakyat. Be Koen Wie adalah pejuang Tionghoa yang berhasil melawan kejahatan yang meresahkan rakyat dikala itu, hingga atas jasanya, pemerintah Belanda menghadiahkan sebidang tanah di tengah kota Magelang. Dan di sebidang tanah tersebut, Be Koen Wie mendirikan Klentheng Liong Hok Bio pada tahun 1864.

Tradisi bersedekah untuk pengelana

Pindapata secara mudah bisa diartikan sebagai sedekah. Dalam perayaan Waisak di Borobudur, prosesi Pindapata yang dilaksanakan di Klentheng Liong Hok Bio kota Magelang merupakan bentuk ritual keagamaan bagi umat Budha, tapi juga merupakan wisata budaya bagi masyarakat umum. Bentuk toleransi beragama dalam masyarakat lebih terlihat menonjol dalam prosesi Pindapata tersebut. Pindapata adalah tradisi yang dilakukan Sang Buddha pada jaman dahulu, pada saat menjalankan tradisi berkelana tersebut, kebutuhan hidup ditanggung oleh umatnya. Dan bagi umat Budha, sedekah akan mendatangkan kebaikan serta keberuntungan.

Menikmati makan ala Biksu

Candi Borobudur dan tradisi unik waisak

Menu makanan para Biksu cukup sederhana, karena mereka menjalani hidup dengan sedekah yang diberikan oleh para umat. Dan karena itulah mereka menikmati semua makanan yang sebagian besar sayuran yang diberikan sebagai  sedekah dari para umatnya. Dan tidak sepenuhnya mereka menjalani hidup sebagai vegetarian, karena ada juga beberapa yang meyakini bahwa jika daging itu berasal dari binatang yang dibunuh bukan oleh mereka dan tidak dipotong khusus untuk mereka, maka daging itu bisa mereka konsumsi. Dan bagi Biksu yang tidak mengkonsumsi daging, tiruan menu daging yang dibuat dari campuran ketan dan kedelai atau jamur, hal itu dilakukan semata untuk membuat menu lebih beragam, bukan karena keinginan yang terpendam untuk mengkonsumsi daging.

Panggilan hidup sebagai Bhikkuni

Keberadaan para Bhikkuni dalam perayaan Waisak tidak saja menarik perhatian dari segi kerelaan mereka menggunduli rambut atau mahkota kecantikannya, tapi keunikan pilihan hidup yang mereka jalani sungguh luar biasa dimata masyarakat pada umumnya. Mereka menjalani paling tidak 8 sila sebagai persyaratannya, yaitu tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan intim, tidak berbohong, tidak meminum minuman keras atau hal yang memabukkan, tidak makan sesudah jam 12 siang sampai keesokkan hari, tidak berdandan menari bernyanyi dan menonton pertunjukan, dan tidak duduk serta tidur di tempat yang mewah.

Pesona Punthuk Setumbu

Candi Borobudur dan tradisi unik waisak

Pada perayaan Waisak di candi Borobudur, ada sebuah kewajiban yang tidak tertulis bagi wisatawan khususnya bagi para fotografer yang banyak berdatangan ke lokasi tersebut. Yaitu menikmati morning glory, sebuah pemandangan pagi hari dengan semburat sinar merah matahari pagi yang terbit dari sisi timur candi Borobudur dan latar belakang puncak gunung Merapi. Lokasinya berada di puncak bukit Punthuk Setumbu desa Karangrejo kabupaten Magelang, yang berjarak 4 Km dari candi Borobudur dan harus mendaki jalan setapak sepanjang 1 Km. Karena jalanannya tanah liat yang keras dan cenderung licin bila habis hujan atau terkena embun, diperlukan kehati-hatian untuk menuju ke puncak bukitnya. Dan waktu yang ideal untuk menuju ke lokasi ini adalah pukul 03.30 pagi, karena cahaya semburat merah akan mulai terlihat saat pukul 05.00 bila cuaca sedang cerah.

Ritual Pradaksina

Bagi masyarakat sekitar candi Borobudur, Pradaksina berarti berjalan mengelilingi candi searah jarum jam. Sementara bagi umat Budha, Pradaksina di candi Borobudur adalah ritual penghormatan untuk jasa para Buddha dan Bodhisattva. Prosesi berjalan berkeliling secara tertib sebanyak tiga kali searah jarum jam ini menempuh jarak total kurang lebih setara dengan 1,5 Km.

Lampion adalah doa

Candi Borobudur dan tradisi unik waisak

 

Sebagai penutup malam purnama, candi Borobudur akan dipenuhi dengan indahnya 1000 lentera dari lampion yang berterbangan ke angkasa menghiasi langit. Makna yang diyakini umat Budha adalah, bahwa cahaya lampion merupakan simbol dari hilangnya kegelapan untuk meraih harapan dan cita-cita. Dan prosesi lepas lampion ini juga dapat dilakukan siapa saja yang datang ke candi Borobudur dengan doa yang dipanjatkan melalui keyakinan mereka masing-masing. Lampion terbuat dari kertas minyak dengan kerangka bambu tipis dengan tinggi 75 cm dan diameter 50 cm, sedangkan daya dorongnya berasal dari api kain yang dililit melingkar dengan kawat dan diberi minyak tanah.







Gabung Milis

Daftarkan diri Anda dan dapatkan update terbaru dari WomanBlitz