Womanblitzers, untuk memaknai kembali peringatan nasional Hari Ibu bagi Indonesia khususnya bagi perempuan, ini adalah para perempuan inspiratif yang dulu juga berjuang dengan karya demi nusantara tercinta. Siapa saja? Ini dia…
Maria Walanda Maramis, tokoh pergerakan nasional dari Minahasa.
Awalnya Maria banyak menuliskan opininya tentang pentingnya peranan Ibu mengasuh dan memberikan pendidikan awal kepada keluarganya di harian lokal Tjahaja Siang. Sampai akhirnya ibu tiga orang anak ini mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya) pada Juli 1917 di Manado. Organisasi ini menjadi tonggak sejarah pendirian sekolah kejuruan Puteri atau Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen di Sulawesi Utara. PIKAT tidak hanya berkembang di daerah Manado dan sekitarnya saja, namun juga di kota-kota di Pulau Jawa, antara lain di Batavia, Bogor, Cimahi, Bandung, Magelang dan Surabaya. Perempuan kelahiran 1 Desember 1872 ini juga dikenang karena usahanya agar perempuan juga mempunyai hak pilih atas wakilnya di Badan perwakilan rakyat Minahasa saat itu yang disebut Minahasa Raad.
Raden Ayu Siti Sundari
Raden Ayu Siti Sundari adalah istri dari Muhammad Yamin. Namun dia juga adalah salah satu dari 15 pembicara dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928. Dikenal sebagai orator ulung pada jamannya, pidatonya yang berjudul “Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia.” menjadi penanda penting bagi komitmen penggunaan bahasa Indonesia yang pada masa itu masih sangat jarang digunakan. Bahasa Indonesia saat itu belum dikenal luas. Kaum priyayi lebih suka berbicara dengan bahasa daerah, misalnya Jawa dan Sunda, kelas tinggi sementara kaum intelektual lebih memilih berbicara dalam Bahasa Belanda.
HR Rasuna Said, sang singa betina dari Sumatera
Perempuan berdarah Minangkabau ini diangkat sebagai pahlawan nasional karena memperjuangkan kesamaan hak antara pria dan wanita. Rasuna dikenal sangat mahir berpidato terutama mengecam pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Pidato yang membuatnya dibuang ke Semarang bersama Rasima Ismail pada 1932. Mereka menjadi perempuan pertama yang terkena hukuman Speek Delict, hukum kolonial belanda untuk mereka yang berani berbicara menentang Belanda. Kala itu usianya dan Rasima baru 22 tahun. Setelah bebas, Rasuna Said mendirikan sekolah putri dan majalah Menara Poeteri di Medan. Dengan menggunakan nama Seliguri, tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap antikolonial.
Auw Tjoei Lan, musuh para mucikari
Perempuan yang dikenal dengan nama Nyonya Lie Tjian Tjoen ini sangat berdedikasi dalam memberantas perdagangan perempuan. Tergabung dalam kepengurusan organisasi Ati Soetji, Auw Tjoei Lan terjun langsung dalam melindungi perempuan-perempuan muda asal Tiongkok yang menjadi korban penyelundupan manusia ke Batavia (Jakarta). Perdagangan perempuan saat itu sedang marak terjadi karena krisis moneter pada tahun 1930-an. Pada tahun 1937, perempuan berdarah Tionghoa ini mewakili IIndonesia untuk menyuarakan pendapatnya tentang perdagangan perempuan di pertemuan Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dalam makalahnya, Nyonya Lie Tjian Tjoen mengusulkan agar para perempuan korban trafficking diberi kesempatan untuk belajar ketrampilan khusus dan dia juga menyarankan pentingnya polisi perempuan untuk menangani aksus semacam ini. Nyonya Lie Tjian Tjoen juga mendirikan panti asuhan untuk para bayi yang dibuang oleh orang tuanya. Dan juga mendirikan sekolah untuk mereka, yang samai kini masih ada dan dikenal sebagai Yayasan Hati Suci.
Gusti Nurul, duta budaya Indonesia
Dewi Dja, Diva pertama yang go internasional
Dewi Dja atau lebih dikenal dengan nama Miss Dja adalah seorang penari, pemain Sandiwara dan pemain film Indonesia yang terkenal di era 1940-an. Tergabung pada kelompok Opera Dardanella, Dewi Dja berkeliling dunia, pernah tampil dihadapan Jawaharlal Nehru sampai akhirnya menetap di Amerika. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB, di New York pada tahun 1947. Oleh Sutan Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Miss Dja pun akrab dengan artis Hollywood ternama kala itu Greta Garbo, Carry Cooper, dan Bing Crosby. Devi Dja pernah memimpin float Indonesia (float “Indonesian Holiday”) dalam “Rose Parade” di Pasadena, tahun 1970. Miss Dja menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin rombongan itu.
Herawati Diah
Siti Latifah Herawati Diah adalah seorang wartawan Indonesia, bersama suaminya BM Diah, pasangan ini dianggap sebagai salah satu pelopor jurnalistik Indonesia. Mereka berjuang dengan tulisan-tulisan mereka di dua media yang mereka dirikan, Merdeka dan The Indonesian Observer. Menyelesaikan pendidikannya di Barnard College, The Columbia University, New York pada tahun 1942, Herawati menjadi saksi dan pelaku banyak peristiwa sejarah di masa awal Indonesia merdeka. Salah satunya, Herawati pernah menjadi bagian dari empat delegasi perempuan Indonesia yang mengikuti kongres perempuan di Madras, India tahun 1947.