Hi boys!
Surat ini aku tulis untuk 20 tahun ke depan, saat kalian baca, mestinya kalian sudah dewasa, 25 dan 23 tahun. Semoga kalian tumbuh sehat dan bahagia, juga menikmati hidup. Aku sudah lanjut usia pasti di saat itu, tapi semoga aku masih tetap asyik dan menyenangkan buat kalian.
Kebetulan kemarin kamu ulang tahun J. Ulang tahun yang kelima, agak beda, karena cuma kita rayakan berempat. Biasanya dekor balon dan gantungan-gantungan lebih heboh, buka tenda di halaman belakang rumah Oma, kue dan makanan yang mengalir, om-tante-sepupu bergiliran bawa kado dan cium. Tapi ada daya, masa pandemi Corona, dan kita nggak bisa mudik ke kampung papamu di Belanda. Tapi setidaknya aku berusaha semampuku bikin dekor yang meriah. Susah tau gantung-gantung balon di gagang korden dengan tinggiku yang minimal ini, bonusnya leher kaku dan boyok pegal. Bungkus sepeda dengan kertas kado ternyata PR juga, tapi cukup berhasil dan bikin penasaran banian ibu-ibu teman instagramku (mungkin kalian nggak tahu, 20 tahun lalu, ada platform untuk pamer dengan media foto dan video, dimana teman-teman yang follow kita bisa komentar atau kirim reaksi via emoticon). Adik Timoer sedih sekali karena ulang tahunnya masih lama, walau dia juga kecipratan banyak kado, dan bingung waktu kujawab ulang tahunnya masih 123 bangun tidur lagi.
Aku nggak pernah mengira akan punya anak-anak seajaib kalian. Yang untungnya juga berwajah cukup lucu, jadi aku gampang jatuh cinta dan sayang setengah mati. Well, kalau kalian nggak cakep dan lucu, aku tetap sayang sih, tapi mungkin lebih butuh usaha. Kalian sukses bikin aku insecure akan kecantikanku, karena setiap orang baru pasti tanya, “Papanya bule ya? Kok anaknya lucu banget!”. Apa aku dengan kapasitas kecantikanku nggak mungkin punya anak lucu?
Tentang ajaibnya kalian, macam-macam sebabnya. Misalnya betapa Timoer itu pemarah sekaligus penyayang, betapa Djedjak itu perasa sekaligus pejuang pembela kegembiraan adik. “Ibu jangan marah-marah sama Timoer, nanti dia sedih lho!”, katamu. Sementara Timoer setiap kukasih kue dan camilan selalu memastikan ada bagian untuk kakaknya. Juga betapa kalian berbakat dengan bahasa, bicara istilah-istilah yang absurd, yang kupikir nggak akan dipakai balita seperti khawatir, prestasi, kompetisi, atau sesederhana mampu membedakan penggunaan kata kami dan kita dalam percakapan. Kalian si duo mesin tanya, nggak ada berhentinya.
Kupikir aku nggak pernah punya nasib baik akan punya anak-anak yang merampok waktuku 24 jam. Boro-boro punya anak, punya suamipun dulunya kupikir akan kulewatkan begitu saja. Kupikir jatahku cuma jadi momsky yang asyik dari keponakan-keponakan atau anak-anak teman. Ternyata aku yang merasa keibuan ini, tetap nggak punya cukup bekal untuk jadi ibu. Ternyata jadi ibu dan jadi tante adalah semesta yang sama sekali berbeda. Jadi tante adalah perkara senang-senang yang temporer, jadi ibu adalah perkara susah-senang melewati anak panas, muntah, tantrum, dan ujian-ujian lain, sekaligus juga jadi tegas dan galak atas nama menegakkan peraturan. Sekarang kalian selalu bilang, “Ibu itu galak, seperti Kak Ros!”. Ternyata konsekuensi punya anak panjaaaaang, kalau beruntung sampai tuntas masa remaja, kalau apes sampai seumur hidup. Nggak henti-henti khawatir dan ingin memastikan semua pantas dan baik, sambil menimbang kadar kecukupan supaya nggak berlebihan; berlebihan emosi, berlebihan sayang, berlebihan protektif, berlebihan memudahkan. Ternyata nggak pernah ada buku manual yang pas untuk membesarkan kalian, ternyata semua perkara trial and error. Nggak ada ramuan paling pas yang bisa diikuti, karena semua anak berbeda dan istimewa dengan caranya.
Kalian mengubah aku. Setengah sukarela. Karena hidup tentang membuat pilihan-pilihan, maka aku berusaha menerimanya dengan wajar dan legowo. Sepertinya aku yang jadi guru, mengajari kalian hal-hal, tapi sebenarnya, aku yang jadi murid. Belajar menata hai dan emosi, belajar sabar, belajar memilah dan mementingkan hal-hal yang benar penting. Aku kadang rindu aku yang dulu, tapi nggak ada pilihan kembali, dan perjalanan ini walau beronak-onak tapi juga penuh sorak-sorak gembira.
Terima kasih telah jadi anak-anakku. Terimalah aku jadi ibu yang begini-begini saja, tapi selalu berusaha jadi lebih.
“I will always love you as humanely as possible boys!”
(Halau Galau edisi ini juga saya kirimkan ke email mereka, yang saya bikin di hari lahir mereka masing-masing. Berisi catatan-catatan, cerita, rekaman percakapan kami, foto, video, dan curhat personal saya di titik-titik pivotal sebagai ibu. Password-nya, rencanya akan saya berikan di ulang tahun ke-17. Semoga teknologi email panjang umur, sampai 20 tahun ke depan setidaknya.)
Photo by Debby Hudson on Unsplash